SILAHKAN MENONTON

Media Literacy - Situs Tv Online Streaming

mnc MIVO sindo berita satu telkomvision arena wwe movie star movie filmon HBO PLUS kids HBO FAMILY axnblk animax mtv bbc bc vit fashion fashion fashion fashion fashion fashion fashion fashion fashion

Media Literacy Tv - Situs Tv Online Streaming

Tuesday, July 3, 2012

Politik Dakwah dan Ancaman Ruang Publik

Menguatnya komersialisasi dan dunia industri komunikasi saat ini memang telah memungkinkan pesan-pesan komunikasi kian menerpa kuat dalam ruang privat dan publik. Dakwah pun kemudian bisa berlabel partai politik.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar Farid Mas'udi menyatakan ikut memahami keresahan warga Muhammadiyah dengan maraknya dakwah berlabel partai politik. Masdar mengakui fenomena gerakan dakwah yang menggunakan label parpol memang terjadi. Menurut Masdar, partai politik yang menggunakan dakwah umat untuk tujuan politik tidaklah gentlemen. Pendiri Perhimpunan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat (P3M) ini mengakui pula adanya gerakan dakwah tertentu yang telah mempergunakan sarana peribadatan umat untuk perekrutan dan sarana mencapai tujuan parpol (SINDO, Selasa, 01/05/2007). Menguatnya komersialisasi dan dunia industri komunikasi saat ini memang telah memungkinkan pesan-pesan komunikasi kian menerpa kuat dalam ruang privat dan publik. Pesan-pesan keagamaan selama beberapa dasawarsa pasca reformasi nampak turut serta merespons perkembangan komersialisasi dan industri komunikasi. Pesan-pesan keagamaan telah disajikan baik melalui media (mediated) maupun di luar media (non-mediated) kian variatif. Pesan-pesan keagamaan juga telah mampu menyesuaikan diri memasuki ranah post-jurnalism-dalam bentuk sinetron, tayangan kriminal, dialog in teraktif, film dll. Televisi kadangkala tampak begitu "religius" nya, ketika dakwah dan pesan-pesan keagamaan disajikan dalam berbagai program. Hal ini bahkan makin kentara menjelang dan pada masa bulan Ramadhan, dimana semua stasiun TV berlomba-lomba menayangkan tayangan yang "religius", dan dengan artis yang seringkali "tiba-tiba tampil menjadi sangat relegius". Market Oriented dan Propaganda

Kritik yang pernah muncul dalam merespons tayangan dakwah keagamaan televisi yaitu, trend agama sebagai pasar hiburan dan Mc Donaldisasi Agama. Pertama, trend agama yang ditempatkan sebagai pasar hiburan diungkapkan oleh Khamami Zada. Menurutnya, fenomena semacam ini terutama nampak ketika hampir tiap malam menjelang sahur, prime time televisi banyak diisi artis dengan gaya jenaka. Belum lagi acara prime time yang disuguhkan melalui sinetron, terutama di RCTI, Indosiar, dan SCTV, yang dari tahun ke tahun selalu menampilkan artis-artis yang sama (Tamara Bleszynski, Teuku Riyan, Anjasmara, Sahrul Gunawan, Gunawan, dan lainnya). Fenomena ini menunjukkan, industri hiburan menjadi komoditas yang mampu menarik perhatian meski di bulan Ramadhan yang secara normatif umat Islam diperintahkan untuk memperbanyak ibadah (Khamami Zada, Kompas, 3 Oktober, 2006)

Kedua, Mc Donaldisasi Agama dimana fenomena inilah yang disinyalir oleh Thomas L. McPhail (1998) sebagai salah satu bentuk kolonialisme elektronik. Terminologi Mc Donaldisasi mengadopsi pendapat George Ritzer (1993), yang menggambarkan bentuk partikular dari proses rasionalisasi dan standardisasi dari seluruh wilayah kehidupan. Proses rasionalisasi dan standardisasi ini kemudian akan mengarah pada homogenisasi dan penyeragaman pada industri jasa yang mengalami massifikasi karena dibombardir oleh iklan. Dengan kecenderungan-kecenderungan McDonaldisasi semacam itu, maka agama akan menemukan dirinya sebagai sebuah entitas produk budaya masa dan kemudian hanyut dalam arus kuat pusaran pasar. Budaya masa semacam ini dituduh oleh David Riesman dan William Kornhauser sebagai the decline of traditional religious and moral attachments, and the rise of sophisticated propaganda techniques that could manipulate the mass and achieve consent (dalam Craig Calhoun, 2002).

Khamami Zada (2006) berpendapat bahwa fenomena market oriented yang muncul dibalik program-program tayangan keagamaan seringkali tidak secara sadar ditangkap pemirsa (umat dan agamawan) sehingga yang terjadi adalah industrialisasi agama. Fenomena dakwah keagamaan dan industri hiburan dalam kenyataannya memarjinalkan agama dalam kutub komersialisasi. Dampak terbesar industrialisasi adalah kian maraknya budaya konsumtif (consumer culture) dalam kehidupan masyarakat. Apa yang digambarkan oleh Khamami Zada tersebut nampaknya semakin dibuktikan dengan kecenderungan besar, dimana pesan-pesan keagamaan oleh publik hanya dilihat sebagai simbol-simbol budaya, life style dalam budaya konsumtif. Budaya konsumtif diartikan sebagai: 1) suatu kekuasaan kultural dalam masyarakat kapitalis modern yang berorientasi kepada pemasaran dan pemakaian barang dan jasa pelayanan. 2) Suatu kultur yang membedakan status dan membagi pangsa pasar dari masyarakat modern saat cita rasa individu tidak hanya merefleksikan lokasi-lokasi sosial (umur, gender, pekerjaan, etnik, dan sebagainya), tetapi juga merefleksikan nilai-nilai sosial dan gaya hidup individu, para konsumen (Collin's Dictionary of Sociology, 1991)
.
Ketiga, tayangan program dakwah dan kegiatan dakwah sebagai propaganda. Tidak dapat dipungkiri, sejarah perkembangan teknologi komunikasi massa lekat dengan proganda. Dalam kenyataannya, media setia saat terus menerus melontarkan pesan-pesan propaganda, dimana publik tidak banyak memiliki waktu untuk mendialogkan, dan merefleksikan pesan-pesan tersebut dengan realitas. Tayangan program keagamaan di ruang publik bagi televisi merupakan bagian dari pemenuhan segmen kebutuhan masyarakat Islam di Indonesia. Proses propaganda dari para komunikator berlangsung seiring dengan kepentingan masing-masing industri media mengejar rating iklan. Oleh karena itu, agenda setting media memiliki kepentingan bagaimana menyajikan tayangan-tayangan tersebut semenarik mungkin sehingga mendapatkan market share yang besar.

Proganda tidak hanya berlangsung melalui media, tetapi interaksi komunikasi di luar media massa (non-mediated). Di luar apa yang disajikan di televisi, dakwah dan pesan-pesan keagamaan juga telah banyak dilakukan melalui sejumlah program pengajian bulanan, tiap jum'at di Masjid, di Kantor, di tingkat RT/RW maupun kelurahan, di Kampus, Mosholla, di Sekolah dll. Adanya kekhawatiran dari beberapa kalangan ketika pesan-pesan yang muncul tersebut tidak hanya merupakan pesan dakwah, namun mewujud sebagai pesan-pesan politik merupakan dilema yang tak terelakkan di tengah kehidupan publik. Apalagi pesan-pesan dakwah yang muncul dalam ruang publik disampaikan oleh para tokoh keagamaan yang memiliki keterkaitan secara langsung ataupun tidak langsung dengan partai politik. Di sinilah kemudian aktivitas dakwah semakin sulit dibedakan dengan propaganda politik (proganda) untuk kepentingan politik tertentu.

Menerobos Krisis Ruang Publik

Menurut J.Habermass(1991), ruang publik secara natural merupakan area yang netral tempat beinteraksinya berbagai gagasan dan pendapat publik. Karena itu, ruang publik digunakan sebagai arena berinteraksinya pesan-pesan publik yang dianggap mencerminkan kepentingan publik dan kemajuan peradaban publik. Ruang publik dalam konteks ini baik yang bersifat mediated ataupun yang bersifat non-mediated. Aktivitas dakwah merupakan bagian penting sebagai kebutuhan publik di Indonesia. Dakwah dalam hal ini merupakan bagian terpenting dalam memenuhi kebutuhan rohani dan spiritual masyarakat Islam di Indonesia. Namun ketika pesan-pesan dakwah sudah menjelma sebagai pesan propaganda politik, tentu di sini menjadi kekuatan regimentasi yang mampu mengintervensi ruang publik Indonesia. Dalam konteks ini, publik akan sulit membedakan antara dakwah sebagai medium interaksi publik masyarakat Islam di Indonesia, dengan pesan-pesan propaganda yang dikendalikan oleh kekuatan politik tertentu.

Jauh sebelumnya fenomena seperti tadi pada tahun empat puluhan pernah digugat oleh mahzab kritis Frankfurt, bahwa mass culture dan mass society telah menghasilkan individu yang teralienasi akibat industri budaya massa sebagai kepanjangan tangan dari kapitalisme. Kalau agama berusaha memenuhi kebutuhan spiritual-esoteris dan eksoteris manusia, maka budaya massa sekadar mengejar kebutuhan-kebutuhan yang remeh temeh. Pada titik inilah kemudian nilai-nilai agama disubordinasikan oleh nilai-nilai yang pragmatis bagi kebutuhan manusia.
Ruang public media yang nampak terus menguat dan kian dominant mau tidak mau menjadi factor signifikan dalam kehidupan public. Dakwah keagamaan nampak berusaha mengisi ruang public tersebut, bersaing dengan berbagai bentuk budaya massa lainnya. Padahal, banalitas budaya massa yang disajikan oleh media seringkali juga terus menguat tidak kalah memprihatinkan. Tayangan dan pesan-pesan keagamaan di sini juga bersaing dengan content media massa lainnya, dimana dalam kadar tertentu cukup memprihatinkan. Namun demikian dalam perkembangannya interaksi public umat Islam di Indonesia yang dimediasi oleh media massa tidak sepenuhnya berlangsung secara ideal sebagaimana harapan public.

Tidak hanya itu, pesan-pesan yang ditampilkan melalui media komunikasi massa juga berpotensi mengalami reduksi. Tidak adanya budaya dialogis, reflektif dan perspektif yang bersifat iklusif pesan-pesan keagamaan dan tayangan keagamaan bisa terseret semata-mata sebagai industri pasar hiburan, Mc Donaldisasi agama ataupun propaganda. Terjebak Dalam Proganda

Ruang publik mestinya tidak boleh secara semena-mena diintervensi oleh kekuatan tertentu yang melakukan aksi proganda bagi monopoli dan akumulasi kepentingan tertentu. Akumulasi dan mopoli dan kepentingan di sini bisa dilakukan oleh kekuatan apapun yang yang bersifat regimented, seperti regimentasi kekuasan fasisme dan otorianisme negara, regimentasi ideologi tertentu, regimentasi agama tertentu, regimentasi parpol tertentu, regimentasi modal tertentu dan berbagai bentuk regimentasi lainnya. Adanya monopoli pesan-pesan dan wacana ruang publik yang dimonopoli dan dikendalikan oleh regimentasi ini menyebabkan ruang publik tidak sehat dan tidak mampu mencerdaskan kehidupan demokrasi publik.

Pesan-pesan Dakwah sangat berbeda dengan propaganda. Dakwah merupakan format komunikasi sosial keagamaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan dan kebutuhan spiritual umat Islam. Propaganda merupakan proses penyebaran pesan-pesan politik yang dimaksudkan untuk mencapai kepentingan tertentu. Pengaburan antara pesan-pesan dakwah dan propaganda di sini tentu bisa memperkeruh ruang publik di Indonesia. Publik pun bisa dengan mudah bisa terseret dalam falacy of thought (kesesatan cara berfikir). Sebab, dasar logika yang dibangun antara pesan-pesan dalam dakwah dengan pesan-pesan dalam proganda politik sangat berbeda. Pesan-pesan komunikasi dalam Dakwah lebih bersifat interaktif, reflektif, solutif, inklusif dan terbuka. Sedangkan pesan-pesan komunikasi dalam aktivitas propaganda bersifat tertutup, ekslusif dan instrumental. Melihat tantangan problematika umat Islam di Indonesia yang kian kompleks, masing-masing ormas Islam dan komunitas Islam memang dituntut mampu mengembangkan politik dakwah.

Namun sekali lagi, politik dakwah tentu berbeda dengan propaganda. Politik dakwah lebih mengacu pada bagaimana strategi dan format dakwah yang dilakukan dirancang secara maksimal agar pesan-pesan komunikasi ketika berdakwah mampu secara efektif dipahami publik dengan cara reflektif. Ketika pesan-pesan komunikasi dalam dakwah keagamaan telah memasuki format propaganda dan ditujukan untuk kepentingan politik tertentu, maka yang berlangsung adalah dakwah politik. Mayortas publik hampir dipastikan tidak lagi mampu berfikir secara kritis dan reflektif ketika diterjang dengan berbagai pesan propaganda.

Perlukah Regulasi?

Dalam realitasnya, pesan-pesan yang disampaikan dalam dakwah begitu sulit dibedakan dengan format propaganda. Padahal, ketika mewujud dalam propaganda secara otomatis muatan kepentingan politik dapat semakin kuat menerpa publik. Disinilah kemudian problem kembali muncul terkait dengan subtansi penggunaan ruang publik.

Pertama, problem etis terkait dengan hak publik mendapatkan pesan dan wacana yang bersifat interaktif, reflektif, solutif, inklusif dan terbuka dalam banyak hal terabaikan. Sebab, pesan-pesan propaganda sejak awal memang dirancang untuk mencapai tujuan politik tertentu. Bahkan propaganda seringkali digunakan sebagai cara jitu dalam melakukan pembentukan opini publik dan mobilisasi dukungan politik.

Kedua, problem regulatif. Melihat begitu terbukanya ruang publik dan begitu rentannya arus kepentingan dalam ruang publik, keberaan ruang publik yang sehat dan demokratis menjadi kebutuhan utama. Hal ini mestinya dapat dibaca sebagai peluang besar bagi pesan-pesan dakwah agar mampu memberikan pencerahan bagi umat Islam. Namun sisi lain kerentanan akan terjadi ketika pesan-pesan keagamaan dalam format propaganda politik demikian kuat mengintervensi ruang publik tersebut. Logika yang muncul kemudian ruang publik harus diatur untuk kepentingan publik.

Dalam konteks dakwah mewujud dalam propaganda politik, perlukah hal tersebut diatur? Pertanyaannya, siapakah yang memiliki otoritas memberikan aturan yang merepresentasikan kepentingan publik? Di sinilah kemudian paradoks muncul, apakah negara, badan-badan representasi publik atau badan-badan representasi publik lainnya.

No comments:

Post a Comment

trima kasih atas komentarnya....
anda puas... kami lemas...
capek tau nulis sambil mikir.... hehehehe